Laman

10/14/2008

Lebaran Di Rumah Pak De


Baru kali ini aku berlebaran tanpa orang tua. Untunglah di Riau ternyata aku punya Pak De, saudara tiri Ibu, satu ayah beda Ibu. Beliau tinggal di Kuansing, di daerah transmigrasi. Aku sendiri belum pernah bertemu dengan Beliau, yang kutahu adalah anak Pak De, Mbak Karmi, itupun waktu aku masih SD, jadi sekarang sudah tak terbayang lagi orangnya.Sudah beberapa kali aku ditelfon Mbak Karmi, menyuruh aku untuk datang ke sana.

Akhirnya hari sabtu, 4 Oktober 2008 sekitar pukul 10.00 aku berangkat kesana, naik travel. Nanti aku akan turun di Simpang Pete, kemudian aku akan di jemput suami Mbak Karmi, Mas Yusuf. Ongkos dari Pekanbaru ke Simpang Pete Rp 30.000, perjalanan selama ± 2 jam. Di Riau banyak pertigaan maupun perempatan yang diberi nama simpang, misalnya Simpag Tiga, Simpang Pete, Simpang Koran, Simpang Narkoba (nama yang aneh..)

Sepanjang jalan masih banyak kujumpai hutan-hutan, rawa maupun kebun sawit dan karet. Tak jarang aku melihat hutan-hutan yang gundul, bekas dibakar untuk perkebunan kelapa sawit atau karet. Nampak kayu-kayu yang tumbang berserakan dan sisa-sisa pembakaran seakan menangis meratapi nasibnya, nasib hutan Indonesia yang tidak dipelihara, dihabisi oleh orang-arang yang tidak bertanggungjawab. Melihat banyaknya hutan dan bukit yang gundul hati ini sedih, mungkin sebentar lagi hutan-huta yang tersisa sudah tak ada lagi, berubah menjadi perkebunan sawit atau karet.

L300 terus melaju kadang diselingi dengan menurunkan atau menaikkan penumpang. Di dalam angkutan aku berkomunikasi dengan Mbak Karmi, tentu dengan menggunakan bahasa Jawa. Setelah selesai menelfon, bapak-tepatnya kakek-di sampingku menyapa tentang tujuanku, juga memastikan kalau aku berasal dari Jawa. Ternyata bapak itu mengira aku keturunan Cina (Cina dari Hongkong kale…), mungkin karena melihat kulitku yang putih he..he..he... Memang kulitku kalo dibandingkan dengan orang Jawa lebih putih, dan bukan bapak itu saja yang mengira kalo aku keturunan Cina, soalnya sudah ada beberapa orang yang mengira seperti itu juga.

Setelah 2 jam perjalanan aku sampai di Simpang Pete. Disitu sudah menunggu Mas Yusuf, aku tahu karena Mbak Karmi tadi meyebutkan ciri-cirinya. Dari simpang Pete perjalanan masih 1 jam menggunakan sepeda motor ke rumah Pak De. Padahal jaraknya ± 21 km, terbayang khan gimana jalannya. Jalan2 becek belum diaspal karena saat ini musim hujan, banyak yang berlubang dan tergenang air hingga banyak badan jalan tidak bisa dilewati. Sungguh tak terbayangkan sebelumnya jalan seperti ini. Sepanjang jalan, kiri kanan terhampar perkebunan sawit, sejauh mata memandang.

Sekitar pukul 13.30 aku sampai di rumah Pak De. Sebelumnya tak kubayangka ditengah-tengah kebun sawit ternyata terdapat banyak perkampungan. Di rumah hanya ada Mbak Karmi, pak De masih di ladang, bahkan beliau sering tinggal di ladang, katanya Pak De punya rumah di ladang. Sore hari aku ke ladang dengan motor diantar oleh Icha dan Dinda, keponakanku. Perjalanan tak begitu lama, sekitar 5 menit. Memang benar di ladang ada rumah, sapi juga dipelihara di situ. Tampak Pak De dan Bu De senang aku datang, saat itu Beliau sedang memanen bayam, dapat pesanan 500 ikat. Melihat Pak De, aku teringat Bapak, mirip. Selain bayam kulihat kangkung, kacang panjang, kacang tanah yang tumbuh denan suburnya di lahan seluas ½ Ha. Selain itu Pak De punya kebun karet dan sawit.

Seperti yang kuceritakan sewaktu ke Siak, disini aku membuktikan keberhasilan petani sawit. Di perkampungan ini mobil-mobil mewah sudah tidak asing lagi, tampak baru-baru. Minimal di sini setiap rumah punya 2 motor. Orang-orang kaya bermunculan sebagai berkah melambungnya harga sawit. Sekarang, disini harga 1 ha kebun siap panen mencapai 100 juta bahkan lebih, itupun sudah tidak ada lagi yang menjual, tidak heran banyak warga yang membeli kebun ke daerah lain seperti Kampar dan Pelalawan.

Ahad siang sekitar pukul 15.00 aku kembali ke Pekanbaru. Kali ini aku naik motor bersama Hendro, tetangga yang kuliah di UIR, kebetulan kost di Gading Marpoyan, tak jauh dari tempatku. Di tengah-tenah perjalanan hujan turun hingga sampai Pekanbaru. Tiba di tempat seluruh pakaian basah dan tubuh menggigil kedinginan.

Tidak ada komentar: