Laman

12/11/2009

Sarangan



Sudah lama aku tak mengunjungi Sarangan, terakhir kali waktu SMA, sekitar 7 tahun yang lalu. Sewaktu pulang kampung Alhamdulillah aku berkesempatan menelusuri kembali keindahannya bersama ketiga sahabat2 tercinta-Trio, Fendi dan Hadi dengan mengendarai sepeda motor. Masih seperti dulu, keelokan telaga sarangan tak pernah pudar, bahkan semakin bertambah mempesona.

Kami erangkat dari rumah Trio jam 10.00, dengan berbekal kacang garuda, tim tam, dan fresh tea yang dibeli di Magetan- kata Trio lebih mahal di Sarangan mending beli di Magetan aja- untuk penghematan.....^_^.


Udara sudah terasa dingin mulai dari Ngerong hingga naik sampai Sarangan. Sesekali kami berhenti mengabadikan momen ini. Jalan yang berkelok-kelok menguji kepiawain dalam mengendarai motor. Sesekali aku menyaksikan motor yang mogok di tengah jalan karena tidak mampu menakhlukkan tanjakan sarangan. Menginjak adzan zuhur kami tiba di telaga, tak lupa kami menunaikan sholat- dengan air wudhu sedingi es tentunya.


Telaga Sarangan yang juga dikenal sebagai telaga pasir ini adalah sebuah telaga alami yang terletak di kaki Gunung Lawu, Kabupaten Magetan, Jawa Timur.Berjarak sekitar 16 kilometer arah barat kota Magetan. Telaga ini luasnya sekitar 30 hektar dan berkedalaman 28 meter. Dengan suhu udara antara 18 hingga 25 derajad, Telaga Sarangan mampu menarik ratusan ribu pengunjung setiap tahunnya.

Telaga Sarangan merupakan obyek wisata andalan Magetan. Di sekeliling telaga terdapat dua hotel berbintang, 43 hotel kelas melati, dan 18 pondok wisata. Di samping puluhan kios cindera mata, pengunjung dapat pula menikmati indahnya Sarangan dengan berkuda mengitari telaga, atau mengendarai perahu motor. Fasilitas obyek wisata lainnya pun tersedia, misalnya rumah makan, tempat bermain, pasar wisata, tempat parkir, sarana. Telaga Sarangan juga memiliki layanan jasa sewa perahu dan becak air. Ada 51 perahu motor dan 13 becak air yang dapat digunakan untuk menjelajahi telaga.


Puas berkeliling telaga baik dengan berjalan kaki atau naik kuda, jangan lupa memanjakan perut dengan sate kelinci yang murah meriah dijual di sekitar telaga. Setelah itu cobalah menelusuri jalan yang menuju ke Tawangmangu, niscaya kita akan semakin kagum akan keindahan pemandangannya.

Penyengat Island

Sudah setahun-sejak tinggal di Pekanbaru aku mendengar nama Pulau Penyengat dengan Masjid Raya Sultan Riau yang terkenal, tentunya.Alhamdulillah aku berkesempatan mengunjungi pulau tersebut.


Pulau Penyengat luasnya hanya 3,5 kilometer, terletak di sebelah barat Kota Tanjungpinang. Diantara Pulau Penyengat dan Tanjungpinang terdapat selat yang lebarnya sekitar 1,5 kilometer. Pulau Penyengat ditempuh ±15 menit dengan perahu, cukup dengan merogoh kocek 10.000 rupiah/pp. Dinamakan Penyengat konon ceritanya Pulau yang berhadapan dengan kuala Sungai Riau ini selalu menjadi tempat perhentian pelaut-pelaut yang lewat di kawasan ini, terutama untuk mengambil air tawar. Orang Tua-tua tempatan bercerita, sekali peristiwa pelaut-pelaut yang datang mengambil air itu diserang oleh sejenis lebah yang disebut penyengat. Karena serangga itu sampai menimbulkan korban jiwa, hewan itu dianggap sakti pula, sejak itulah pulau ini dinamakan Pulau Penyengat Indra Sakti, selanjutnya lebih dikenal Penyengat saja sampai sekarang.

Obyek yang dapat dikunjungi meliputi Masjid Raya Sultan Riau, Makam engku Putri Raja Hamidah, Makam Raja Haji Fisabilillah, Makam Raja Jakfar, Makam Raja Abdurrahman, Istana Kantor, Balai Adat Indra Perkasa. Untuk berkeliling cukup membayar 20.000 rupiah dengan menggunakan sepeda motor.

Masjid Raya Sultan Riau ini pada hari Jumat selalu ramai dikunjungi orang dari luar Pulau untuk sholat Jumat. Masjid ini didominasi warna kuning. Ada 13 kubah di masjid itu yang susunannya bervariasi. Ditambah dengan empat menara yang masing-masing memiliki ketinggian sekitar 19 meter, dan bubung yang dimiliki masjid tersebut sebanyak 17 buah. Angka ini diartikan sebagai jumlah rakaat shalat. Masjid yang tercatat dalam sejarah sebagai merupakan satu-satunya peninggalan Kerajaan Riau-Lingga yang masih ada ini berukuran sekitar 54 x 32 meter. Ukuran bangunan induknya sekitar 29 x 19 meter.

Sejarahnya, pada tahun 1805 Sultan Mahmud menghadiahkan pulau Penyengat kepada isterinya Puteri Raja Hamidah. Bersamaan dengan itu, dibangun Masjid Sultan. Cuma waktu itu, masjid hanya terbuat dari kayu. Kemudian, keturunan kerajaan setelah itu, Raja Ja'far membangun Penyengat sekaligus memperlebar masjidnya.

Pembangunan masjid secara besar-besaran dilakukan ketika Raja Abdul Rahman memegang jabatan Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga (1832-1844) menggantikan Raja Ja'far. Tak lama setelah memegang jabatan itu, pada 1 Syawal tahun 1284 H (1832 M) atau 165 tahun yang lalu, setelah usai shalat Ied, ia menyeru masyarakat untuk bergotong royong membangun masjid.

Dalam gotong royong itulah, masyarakat membawa berbagai perbekalan. Termasuk telur. Karena berlimpah, banyak putih telur yang tidak habis dimakan. Dan oleh pekerja, putih telur itu dijadikan campuran adukan. Menurut mereka, dengan campuran putih telur, bangunan akan lebih kokoh dan tahan lama.

Selain bangunan yang indah, masjid Penyengat menyimpan mushaf Alquran tulisan tangan yang diletakkan dalam peti kaca di depan pintu masuk. Mushaf ini ditulis oleh putera Riau yang dikirim belajar ke Turki pada tahun 1867. Namanya, Abdurrahman Istambul.

Di Pulau ini selain terdapat banyak benda-benda peninggalan sejarah, terdapat pula objek lainnya yang cukup menarik, seperti alamnya yang cukup indah, baik di pantai maupun di bukit-bukit serta dapat pula menyaksikan perkampungan tradisional penduduk, Balai Adat dan atraksi kesenian. Jaraknya yang dekat dengan Kota Tanjungpinang serta sarana perhubungan yang lancar, memberi kemudahan bagi wisatawan untuk mengunjungi Pulau Penyengat Indra Sakti ini. Sayangnya peninggalan bersejarah ini nampak kurang terawat -seperti Istana Kantor- sehingga mengurani keindahannya.