Sudah setahun-sejak tinggal di Pekanbaru aku mendengar nama Pulau Penyengat dengan Masjid Raya Sultan Riau yang terkenal, tentunya.Alhamdulillah aku berkesempatan mengunjungi pulau tersebut.
Pulau Penyengat luasnya hanya 3,5 kilometer, terletak di sebelah barat Kota Tanjungpinang. Diantara Pulau Penyengat dan Tanjungpinang terdapat selat yang lebarnya sekitar 1,5 kilometer. Pulau Penyengat ditempuh ±15 menit dengan perahu, cukup dengan merogoh kocek 10.000 rupiah/pp. Dinamakan Penyengat konon ceritanya Pulau yang berhadapan dengan kuala Sungai Riau ini selalu menjadi tempat perhentian pelaut-pelaut yang lewat di kawasan ini, terutama untuk mengambil air tawar. Orang Tua-tua tempatan bercerita, sekali peristiwa pelaut-pelaut yang datang mengambil air itu diserang oleh sejenis lebah yang disebut penyengat. Karena serangga itu sampai menimbulkan korban jiwa, hewan itu dianggap sakti pula, sejak itulah pulau ini dinamakan Pulau Penyengat Indra Sakti, selanjutnya lebih dikenal Penyengat saja sampai sekarang.

Obyek yang dapat dikunjungi meliputi Masjid Raya Sultan Riau, Makam engku Putri Raja Hamidah, Makam Raja Haji Fisabilillah, Makam Raja Jakfar, Makam Raja Abdurrahman, Istana Kantor, Balai Adat Indra Perkasa. Untuk berkeliling cukup membayar 20.000 rupiah dengan menggunakan sepeda motor.
Masjid Raya Sultan Riau ini pada hari Jumat selalu ramai dikunjungi orang dari luar Pulau untuk sholat Jumat. Masjid ini didominasi warna kuning. Ada 13 kubah di masjid itu yang susunannya bervariasi. Ditambah dengan empat menara yang masing-masing memiliki ketinggian sekitar 19 meter, dan bubung yang dimiliki masjid tersebut sebanyak 17 buah. Angka ini diartikan sebagai jumlah rakaat shalat. Masjid yang tercatat dalam sejarah sebagai merupakan satu-satunya peninggalan Kerajaan Riau-Lingga yang masih ada ini berukuran sekitar 54 x 32 meter. Ukuran bangunan induknya sekitar 29 x 19 meter.

Sejarahnya, pada tahun 1805 Sultan Mahmud menghadiahkan pulau Penyengat kepada isterinya Puteri Raja Hamidah. Bersamaan dengan itu, dibangun Masjid Sultan. Cuma waktu itu, masjid hanya terbuat dari kayu. Kemudian, keturunan kerajaan setelah itu, Raja Ja'far membangun Penyengat sekaligus memperlebar masjidnya.
Pembangunan masjid secara besar-besaran dilakukan ketika Raja Abdul Rahman memegang jabatan Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga (1832-1844) menggantikan Raja Ja'far. Tak lama setelah memegang jabatan itu, pada 1 Syawal tahun 1284 H (1832 M) atau 165 tahun yang lalu, setelah usai shalat Ied, ia menyeru masyarakat untuk bergotong royong membangun masjid.
Dalam gotong royong itulah, masyarakat membawa berbagai perbekalan. Termasuk telur. Karena berlimpah, banyak putih telur yang tidak habis dimakan. Dan oleh pekerja, putih telur itu dijadikan campuran adukan. Menurut mereka, dengan campuran putih telur, bangunan akan lebih kokoh dan tahan lama.
Selain bangunan yang indah, masjid Penyengat menyimpan mushaf Alquran tulisan tangan yang diletakkan dalam peti kaca di depan pintu masuk. Mushaf ini ditulis oleh putera Riau yang dikirim belajar ke Turki pada tahun 1867. Namanya, Abdurrahman Istambul.

Di Pulau ini selain terdapat banyak benda-benda peninggalan sejarah, terdapat pula objek lainnya yang cukup menarik, seperti alamnya yang cukup indah, baik di pantai maupun di bukit-bukit serta dapat pula menyaksikan perkampungan tradisional penduduk, Balai Adat dan atraksi kesenian. Jaraknya yang dekat dengan Kota Tanjungpinang serta sarana perhubungan yang lancar, memberi kemudahan bagi wisatawan untuk mengunjungi Pulau Penyengat Indra Sakti ini. Sayangnya peninggalan bersejarah ini nampak kurang terawat -seperti Istana Kantor- sehingga mengurani keindahannya.